Pemerintah Jaga Momentum Pemulihan Ekonomi

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta-Pemerintah mempersiapkan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2023 sebagai baseline baru kebijakan makro ekonomi dan fiskal pascaimplementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Sesuai amanat undang-undang, defisit APBN harus kembali paling tinggi sebesar 3 persen dari PDB pada tahun 2023.

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky mengatakan untuk kembali ke level defisit 3 persen tersebut, pemerintah perlu memperhatikan alokasi-alokasi belanja dan mengoptimalkan penerimaan. Namun, tetap menjaga agar pemulihan ekonomi yang sedang berjalan tidak melambat.

“Kuncinya adalah bagaimana kita bisa meng-handle tekanan inflasi saat ini agar tidak mendisrupsi pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung. Jadi momentum itu juga perlu terus dijaga agar disrupsi yang terjadi tidak kemudian memukul turun lagi roda ekonomi yang ini sudah berputar,” papar Riefky.

Riefky menilai langkah pemerintah dalam menekan lonjakan inflasi saat ini sudah tepat. Tekanan inflasi domestik mulai meningkat pada April 2022 yang tercatat sebesar 3,5 persen. Hal itu dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas global, faktor musiman seperti Ramadan dan Hari Raya, serta mulai pulihnya permintaan domestik.

“Katakanlah kalau inflasi tiba-tiba sangat tinggi sekarang, pasti BI (Bank Indonesia) akan meningkatkan suku bunga. Kalau BI meningkatkan suku bunga, maka kemudian GDP (gross domestic product) growth kita pasti akan tertekan lagi. Implikasinya adalah semakin susah kita mencapai defisit 3 persen di tahun depan karena GDP growth kita turun,” papar Riefky.

Namun di sisi lain, pengetatan moneter seperti yang dilakukan oleh banyak negara lain hanya akan menyebabkan beban biaya utang menjadi lebih tinggi, sehingga kian mempersempit ruang fiskal pemerintah ke depan.

Oleh karena itu, Riefky mengingatkan apabila tekanan inflasi sampai pada titik yang terlalu tinggi dan kenaikannya tidak sebanding dengan tambahan ruang fiskal dari windfall revenue yang berasal dari komoditas yang dimiliki, maka inflasi tersebut harus diteruskan ke konsumen namun dengan tetap melindungi masyarakat miskin dan rentan.

“Jadi saya rasa problemnya saat ini yang dihadapi adalah bagaimana kita memiliki timing yang tepat dari sisi kebijakan agar proses pemulihan ekonomi ini bisa terjadi secara smooth. Smooth landing ini memang perlu betul-betul diperhatikan oleh pemerintah,” tutur Riefky. (rls)